Senin, 22 Oktober 2007

KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZUL HIJJAH

Dari Abdullah bin Abbas rodhiallahu anhu anak baginda Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam berkata: ” Rasulullah shollallhu alaihi wasallam bersabda:

”Tidak ada hari-hari yang Alloh lebih cintai untuk beramal sholih daripada hari-hari ini yaitu sepuluh (pertama) dari bulan Dzul Hijjah. Para shahaba bertanya:”Wahai Rasulullah, tidak pula berjihad di jalan Allo?, beliau menjawab:”Tidak pula berjihad di jalan Alloh, kecuali seseorang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali, baik jwa maupun hartanya (mati syahid).”

Riwayat Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Kitab Al’Idain Bab Fadhlil ’Amal fi Ayyamit Tasyriq no. 979 dengan lafazh yang sedikit berbeda, tapi mengandung makna yang sama. Sedangkan lafazh hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitabush Shaum Bab fi Shaumil ’Asyr no. 757, dan Ibnu Majah dalam Kitabush Shiyam Bab Shiyamil ’Asyr no.1727. Para ulama ahlul hadits menghukumi hadits ini sebagai hadits yang shahih.

Kandungan Hadits

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah seorang rasul (utusan) Alloh Subhanahu Wa Ta’ala yang memiliki sifat belas kasih, penyayang, dan sangat antusias (semangat) memberikan bimbingan kepada umatnya agar mereka saling berlomba-lomba dalam beramal shalih sebagai tabungan untuk masa depan yang abadi (di akhirat kelak) Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman (artinya): ”Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalia, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mi’min.”(At-Taubah:128)

Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu anhu, beliau berkata:”Bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

”Segeralah beramal (supaya terlepas/jauh) dari fitnah, karena fitnah itu ibarat potongan-potongan malam yang gelap. Di pagi hari seseorang itu dalam keadaan mu’min dan di sore harinya telah menjadi kafir, atau di sore harinya ia dalam keadaan mu’min dan di pagi harinya telah menjadi kafir. Karena ia menjual agamanya dengan sedikit dari bagian dunia.”(HR.Muslim no. 168)

Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, oleh karena itu Rasulullah shollallhu alaihi wasallam mengkhabarkan tentang keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah sebagai dorongan kepada umatnya agar memperbanyak ibadah pada hari-hari tersebut. Karena ibadah pada hari-hari tersebut lebih Alloh Subhanahu Wa Ta’ala cintai dibanding pada hari-hari di bulan selainnnya.

Di dalam Al-Quran Karim, Alloh Subhanahu Wa Ta’ala juga menyebutkan tentang keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah seperti dalam firman-Nya (artinya):

”Dan serulah manusia untuk menunaikkan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan ada yang mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaa bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Alloh pada hari-hari yang telah ditentukan...” (Al-Hajj:27-28)

Sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu anhu menafsirkan maksud dari hari-hari yang telah ditentukan adalah pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah, sebagaimana yang disebutkan Al Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq. (Lihat dala Kitab al-’Idain Bab Fadhlil Amal fi Ayyamit Tasyriq no.979)

Ini juga penafsiran dari Abu Musa Al-Asy’ari rodhiallahu anhu, Mujahid, Qatadah, Atha’, Sa’id bin Jubair, hasan Al Bashri, Adh Dhahak, Atha’ Al Kurasani, Ibrahim An Nakha’i, dan juga merupakan pendapat madzab Asy Syafi’i serta pendapat yang mashur dari Al Imam Ahmad bin Hanbal. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Hajj ayat ke- 28)

Ayat di atas mengandung adanya perintah dari Alloh Subhanahu Wa Ta’ala untuk memperbanyak dzikir (ibadah) pada hari-hari yang telah ditentukan yaitu pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah.

Sehingga memperbanyak dzikir (ibadah) pada sepuluh hari dibulan Dzul Hijjah bukan sekedar anjuran dari Rasulullah shollallhu alaihi wasallam semata, namun merupakan perintah langsung dari Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

Demikian juga dari ayat lain yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah yaitu firman-Nya (artinya):”Dan demi malam yang sepuluh.”(Al-Fajr:2)

Di antara tafsiran yang dimaksud pada malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzul Hijjah. Ini merupakan tafsiran sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu anhu, Ibnu Zubair, Mujahid, dan ulama salaf lainnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (Tafsir Ibnu Katsir) dan demikian pila Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/56.

Dalam ayat ini Alloh Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan malam yang sepuluh yaitu sepuluh hari pertama di bulan Dzul Hijjah, hal ini menunjukkan adanya keutamaan dan kemuliaan pada hari-hari tersebut.

Keutamaan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzul Hijjah telah dijelaskan Rasululloh shollallahu alaihi wasallam dalam haditsnya yang diriwayatkan sahabat Ibnu Abbas di atas. Yaitu bahwa beramal shalih pada hari-hari tersebut lebih Alloh Subhanahu Wa Ta’ala cintai daripada hari-hari sebelumnya.

Apalagi pada sepuluh hari di bulan Dzul Hijjah terdapat dua hari besar bagi umat islam, Hari Arafah dan hari Idul Adha.

Hari Arafah adalah hari dimana para jama’ah haji wukuf di padang Arafah pada tanggal 9 Dzul Hijjah sebagai salah satu rukun haji, sehingga pada tanggal itu dikenal dengan Hari Arafah. Pada hari itu juga disunnahkan (dianjurkan) bagi umat Islam selain jama’ah haji untuk bershaum (puasa) yang dikenal dengan shaum Arafah.

Dari sahabat Abu Qatadah Al Anshari rodhiallahu anhu berkata:”Sesungguhnya Rasulullah shollallhu alaihi wasallam pernah ditanya tentang shaum pada Hari Arafah, maka beliau shollallhu alaihi wasallam menjawab:

”Menghapuskan dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.”(HR.Muslim)

Pada Hari Arafah juga merupakan hari yang paling banyak Alloh Subhanahu Wa Ta’ala mengeluarkan manusia dari api neraka. Sebagaiman hadits dari shahabiyah ’Aisyah, bahwa Rasulullah shollallhu alaihi wasallam bersabda:

”Tidak ada suatu hari yang lebih banyak Alloh membebaskan penghuni api neraka dibandingkan pada hari Arafah.”(HR.Muslim no.1348)

Sedangkan pada tanggal 10 Dzul Hijjah merupakan seutama-utamanya hari di sisi Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah shollallhu alaihi wasallam bersabda:

”Hari yang paling utama/mulia di sisi Alloh adalah hari kurban (Idul Adha) dan hari Al-Qarri (yaitu pada 11 Dzul Hijjah di saat jama’ah haji tinggal di Mina.).”(HR.Abu Dawud no.1765, dishahihkan oleh Asy Syaih Al Albani)

Karena pada hari ini adalah Hari Idul Adha yang dijadikan sebagai hari Raya Umat Islam. Pada hari ini pula para jama’ah haji menyelesaikan sebagian besar dari manasik hajinya termasuk di antaranya menyembelih hewan kurban. Sehingga pada hari ini disebut sebagai Al Hajjul Akbar (Haji Akbar), sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): ”Dan inilah suatu pemakluman dari Alloh dan Rasul-Nya kepada umat islam pada hari raya haji...”(At-Taubah:3)

Al Imam Abu Dawud membawakan riwayat dari sahabat Abdullah bin Umar rodhiallahu anhu, bahwa rasulullah shollallhu alaihi wasallam bersabda:

”Hari haji akbar adalah pada Hari Raya Kurban (Idul Adha).”(HR.Abu Dawud no. 1945 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)

Apa Yang Kita Lakukan pada Sepuluh Hari Pertama di Bulan Dzul Hijjah?

Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, tentunya bila kita menginginkan al jannah (surga) dan terjauhkan dari an nar (neraka), mari kita berlomba-lomba untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas dari ibadah kita. Seperti menghidupkan shalat-shalat nawafil (sunnah) seperti shalat rawatib ba’diyah ataupun qabliyah dari shalat-shalat lima waktu, shalat sunnah dhuha, dan selainnya, ataupun shaum-shaum sunnah seperti shaum hari senin dan kamis, shaum sunnah dawud (satu hari shaum kemudian hari berikutnya berbuka dan seterusnya) ataupun berlomba-lomba untuk bershadaqah (berinfaq). Demikian juga, jangan lupa mari kita perbanyak dzikrullah dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

”Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Alloh dan lebih dicintai-Nya daripada beramal shalih di sepuluh pertama (di bulan Dzul Hijjah), maka perbanyaklah tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir pada hari-hari itu.”(HR.Al Bukhari dalam Al Kabir, dan juga Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya).

Manakah yang Lebih Utama antara Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzul Hijjah dengan Sepuluh Malam Terakhir Bulan Ramadhan?

Kita telah tahu bahwa pada salah satu malam dari sepuluh malam terakhir di bulan ramadhan terdapat satu malam yang lebih utama daripada seribu bulan, Al-Quran dan para malaikat-Nya turun pada malam itu juga, yang dikenal dengan malam Lailatul Qadar sebagaimana dalam surat Al-Qadr. Pada malam itu pula Alloh Subhanahu Wa Ta’ala membuka pintu maghfirah (ampunan)-Nya.

Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu anhu, rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

”Barang siapa yang shalat pada malam lailatul qadr dengan penuh iman dan pengharapan niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(HR.Al Bukhari dan Muslim)

Kendati demikian, hal ini tidaklah bertentangan dengan sepuluh hari pertama di bulan Dzul Hijjah. Karena keutamaan sepuluh hari di bulan Dzul Hijjah terkait pada waktu malam harinya. Sehingga dapatlah ditarik kesimpulan bahwa amalan shalih pada siang hari pada sepuluh pertama di bulan Dzul Hijjah itu lebih utama daripada di siang hari pada bulan-bulan selain bulan Dzul Hijjah. Sedangkan amalan shalih pada sepuluh malam terakhir di bulan ramadhan itu lebih utama daripada di malam hari di bulan-bulan selain bulan ramadhan. Wallahu a’lam bishshowab.

Akhir kata, semoga tulisan yang ringkas ini menjadi penyejuk hati dan pelepas dahaga dalam berlomba-lomba mencari kebaikan dan beramal shalih. Dan semoga kita semua dimudahkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Amin, ya Rabbal Alamin. (Oleh:Tim Redaksi)

(Sumber Buletin Islam AL ILMU Edisi : 127/XII/IV/1427)

Ikhlash, Betapa Sulitnya...

Atsar-Atsar tentang Hakikat Ikhlash
Ikhlash adalah sesuatu yang begitu mudah diucapkan akan tetapi betapa sulitnya direalisasikan. Sampai-sampai sebagian ulama salaf menyatakan: "Sesungguhnya barangsiapa yang mempersaksikan bahwasanya dirinya telah ikhlash maka sungguh dia butuh untuk ikhlash lagi", sebagaimana diucapkan oleh As-Susiy.
Hal ini dikarenakan apabila seseorang merasa telah ikhlash dalam ucapan dan perbuatannya berarti dia telah berbuat 'ujub (kagum dan bangga dengan amalnya) yang akan menghapuskan amalannya tersebut. Sedangkan orang yang ikhlash adalah orang yang amalnya bersih dari seluruh hal yang akan menghapuskannya seperti riya`, sum'ah, 'ujub dan yang lainnya.
Berkata Ya'qub: "Orang yang ikhlash adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan kejelekan-kejelekannya."
Kecuali kalau dalam rangka agar orang lain mengikuti perbuatan baiknya maka boleh menampakkan perbuatannya tersebut karena ada maslahat bagi orang lain.
Berkata Ayyub: "Memurnikan niat bagi orang-orang yang beramal itu lebih berat atas mereka daripada (mengerjakan) seluruh amalan-amalan."
Berkata sebagian ulama salaf: "Ikhlash sesaat adalah keselamatan selama-lamanya, akan tetapi ikhlash itu adalah sesuatu yang sangat sulit."
Ketika Suhail ditanya: "Apakah yang paling berat bagi jiwa?" Maka beliau menjawab: "Ikhlash, karena padanya tidak ada bagian yang lainnya."
Berkata Al-Fudhail: "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya` sedangkan beramal karena manusia adalah kesyirikan, adapun yang namanya ikhlash adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya."
Maksud beliau adalah apabila ada seseorang meninggalkan amal kebaikan karena takut riya` seperti dia tidak mau shalat sunnah karena takut riya', berarti dia sudah terjatuh pada riya` itu sendiri. Yang seharusnya dia lakukan adalah tetap melaksanakan shalat sunnah walaupun di sekitarnya ada orang dengan tetap berusaha untuk ikhlash dalam amalnya tersebut.
[Lihat: Tazkiyyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid, hal.17, dengan beberapa perubahan.]

Pentingnya Ikhlash bagi Penuntut Ilmu
Berkata Al-Imam An-Nawawiy setelah membicarakan tentang keutamaan ilmu dan kedudukan ulama: "Ketahuilah bahwasanya apa-apa yang telah kami sebutkan dari keutamaan menuntut ilmu, hanyalah akan diperoleh bagi orang yang mencarinya dalam rangka mengharapkan Wajah Allah Ta'ala, bukan dalam rangka mencari dunia. Dan barangsiapa dalam menuntut ilmu dia mencari tujuan duniawi seperti harta, kepemimpinan, kedudukan, kemegahan, ketenaran, menarik perhatian manusia kepadanya atau ingin mendebat orang lain, atau yang sejenisnya maka ini semuanya tercela." (Al-Majmuu' 1/23)
Apabila seorang penuntut ilmu mendapatkan dalam dirinya kecenderungan kepada riya` dan senang untuk berbangga-bangga dengan ilmunya, maka wajib baginya untuk menyibukkan diri dengan memperbaiki niat, bersungguh-sungguh melatih jiwanya agar tetap di atas keikhlashan, menghilangkan was-was syaithan, berlindung diri dari kejahatan dan kejelekannya sampai niatnya kembali menjadi bersih dari berbagai kotoran riya dan yang lainnya, dan tertutuplah pintu-pintu masuk syaithan yang biasa menyusup dari sela-sela jiwa manusia.
Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnus Simak bahwasanya dia berkata: Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauriy berkata:
"Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat atas diriku daripada (memperbaiki) niatku, karena niat itu senantiasa berubah-ubah pada diriku." (Al-Jaami' li Akhlaaqir Raawiy wa Aadaabis Saami' 1/317)
Al-Khathib juga meriwayatkan dari Bisyr Ibnul Harits bahwasanya beliau ketika berbicara lalu menyebutkan sanad hadits, maka beliau berkata: "Astaghfirullaah, sesungguhnya ketika menyebutkan sanad muncul perasaan bangga dan sombong dalam hatiku." (Ibid. 1/338)
Dia takut masuknya perasaan sombong dan bangga ke dalam hatinya, ketika dia menyebutkan sanad dari para perawi dan guru-gurunya yang meriwayatkan dari mereka, lalu hal ini menjadi sebab munculnya riya`, maka diapun mengawasi bisikan-bisikan jiwanya lalu meminta ampun kepada Rabbnya.
Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan juga dari 'Ubaidullah bin Abi Ja'far bahwasanya beliau berkata: "Apabila seseorang ketika sedang berbicara di suatu majelis lalu pembicaraannya tersebut menjadikan dia ta'ajjub (kagum) maka hendaklah dia diam, dan sebaliknya apabila dia diam lalu diamnya tersebut menjadikan dia ta'ajjub maka hendaklah berbicara." (Ibid. 1/338)

Beramal Terus Sambil Memperbaiki Niat
Sangatlah pantas bagi kita untuk memperhatikan permasalahan ini yaitu terhadap pintu-pintu masuknya syaithan yang selalu berusaha menggoda manusia, yang wajib bagi para penuntut ilmu mewaspadainya.
Yang dimaksud pintu syaithan di sini adalah godaan dan tipuannya syaithan yang menjadikan permasalahan riya` dan rasa takut darinya sebagai senjata untuk menghalangi seorang penuntut ilmu dari tujuannya (sehingga tidak lagi menuntut ilmu karena takut riya`), dan menghalangi seorang yang alim dari majelis ilmu (sehingga tidak lagi mengajarkan ilmunya karena takut riya`), menghalangi seorang da'i dan pemberi nasehat dari pelajaran-pelajarannya, dengan alasan bahwasanya manusia akan kagum dengan pembicaraannya dan hal ini mengantarkan kepada riya` atau karena semata-mata didapati dalam dirinya ada kecenderungan kepada bisikan-bisikan riya` dan senang dengan kagumnya manusia dan pujian mereka kepadanya.
Sungguh para ulama telah membedakan antara riya` yang merupakan tujuan dan pendorong atas suatu amalan dengan keadaan seorang muslim yang telah menyempurnakan amalannya dengan ikhlash kemudian dia mendapati sebagian kesenangan pada dirinya dari pujian manusia atasnya setelah dia menyelesaikan amalannya tersebut, maka hal ini tidaklah mengurangi hakikat keikhlashannya insya Allah. (Mukhtashar Minhaajil Qaashidiin hal.221)
Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Dzarr, dia berkata: Dikatakan kepada Rasulullah: "Apakah pendapat engkau terhadap seseorang yang melakukan suatu amalan kebaikan dan manusia memujinya?" Maka beliau menjawab: "Itulah balasan kebaikan yang disegerakan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang beriman."
Sebagaimana para ulama juga telah memberitahukan bahwasanya selayaknya bagi seorang penuntut ilmu agar jangan meninggalkan jalan menuju ilmu apabila dia mendapatkan dalam dirinya ada sesuatu dari riya`, akan tetapi yang harus dia lakukan adalah menyibukkan diri dengan memperbaiki niatnya dengan tetap meneruskan menuntut ilmu dan menyebarkan ilmu serta mengajarkannya kepada orang lain.
Berkata Al-Imam An-Nawawiy: "Tidak Selayaknya bagi seorang yang berilmu untuk tidak mengajarkan ilmunya kepada seseorang dengan alasan karena niat orang yang belajar tersebut belum benar, karena sesungguhnya dia masih diharapkan agar baik niatnya. Dan terkadang dirasakan berat oleh kebanyakan para pemula dari kalangan para penuntut ilmu masalah perbaikan niat karena lemahnya jiwa-jiwa mereka dan sedikitnya kesenangan mereka terhadap kewajiban memperbaiki niat.
Karena menghalangi atau mencegah dari mengajari mereka akan mengantarkan kepada terluputnya ilmu yang banyak, bersamaan dengan itu masih diharapkan perbaikannya dengan adanya barakah ilmu apabila dia senang ilmu. Dan sungguh para ulama salaf mengatakan: "Kami dulunya menuntut ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itupun enggan kecuali agar dicari dalam rangka karena Allah semata." Artinya akibat terakhirnya adalah jadilah menuntut ilmunya itu karena Allah semata."
(Al-Majmuu' 1/30)
Hal itu juga sebagaimana diterangkan oleh Al-Imam Ibnul Jauziy, di mana beliau mengatakan: "Sungguh Iblis telah memberikan tipu dayanya kepada seorang pemberi nasehat yang ikhlash, maka Iblispun berkata kepadanya: "Orang sepertimu tidaklah memberi nasehat dan akan tetapi kamu hanya pura-pura memberi nasehat." Akhirnya diapun diam dan berhenti dari memberi nasehat. Itulah di antara makar Iblis, karena dia menginginkan menghalangi perbuatan yang baik.... Iblispun juga berkata: "Sesungguhnya kamu ingin bernikmat-nikmat dengan apa yang kamu sampaikan dan kamu akan mendapatkan kesenangan karena hal itu, dan kadang-kadang akan muncul perasaan riya` pada ucapanmu, dan menyendiri itu lebih selamat." Maksud dari perkataan ini adalah menghalangi dari berbagai kebaikan". (Talbiisu Ibliis hal.125)

Luruskan Niat dalam Menuntut Ilmu!
Kita akhiri pembicaraan ini dengan wasiat Abu Hamid (beliau di akhir hidupnya bertaubat dan kembali ke manhaj salaf, yang sebelumnya bermanhaj shufi) di mana beliau mengingatkan para penuntut ilmu akan wajibnya mengawasi dan memperhatikan jiwanya dan agar selalu bertanya kepadanya apa pendorong dalam mencari ilmu dan kesabarannya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan menuntut ilmu:
"Berapa malam kamu bangun untuk mengulang ilmu dan mentelaah kitab-kitab dan kamu mengharamkan dirimu untuk tidur, aku tidak tahu apa yang mendorongmu melakukan semuanya itu? Apabila niatmu mencari bagian dari dunia, perhiasannya dan kedudukan-kedudukan di dunia, serta ingin berbangga-bangga dengan teman-teman setingkatmu, maka kecelakaanlah bagimu kemudian kecelakaanlah bagimu. Dan apabila tujuanmu dalam mencari ilmu adalah dalam rangka menghidupkan syari'atnya Nabi dan mendidik akhlakmu serta mengikis habis nafsu yang cenderung kepada kejelekan, maka kebahagiaanlah bagimu kemudian kebahagiaanlah bagimu." (Ayyuhal Walad hal.105-106)
Wallaahu A'lam, disadur dari Aadaabu Thaalibil 'Ilmi hal.31-35.


Pertanyaan:
Apa kita boleh membaca Al-Ma`tsurot? Tolong dijawab.
Jawaban:

Al-Ma`tsurat adalah kitab kecil yang berisi dzikir-dzikir dan do'a-do'a. Kitab ini ditulis oleh Hasan Al-Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin yang beraqidahkan shufiyyah. Di dalam kitab tersebut tidak dijelaskan derajat haditsnya, apakah shahih, hasan atau dha'if, sehingga kita tidak merasa aman dan tenang dalam mengamalkannya, walaupun memang di dalamnya disebutkan sebagian hadits-hadits yang shahih.
Akan tetapi, kita mempunyai kaidah dalam mengambil ilmu (lihat tanya jawab dalam edisi sebelumnya) yaitu kita mengambil ilmu dari ahlus sunnah baik melalui lisannya ataupun kitab-kitab yang telah mereka tulis. Hendaklah kita hanya mengambil ilmu dari ahlus sunnah.
Tentang siapakah sesungguhnya Hasan Al-Banna, apa manhaj dan aqidahnya, bisa meruju' kepada buku: "Hasan Al-Banna Seorang Teroris?"
Adapun dalam mengamalkan hadits, maka harus diperhatikan masalah keshahihannya. Yang shahih/hasan kita amalkan dan yang dha'if kita tinggalkan. Karena kalau kita mengatakan bahwa hadits ini shahih padahal dha'if berarti kita berdusta atas nama Rasulullah, sedangkan Rasulullah sendiri menyatakan: "Berdusta atas namaku tidak seperti berdusta atas nama orang lain dan barangsiapa yang secara sengaja berdusta atas namaku maka bersiap-siaplah tempat duduknya di neraka." (Hadits Mutawaatir, lihat Muqaddimah Shahiih Muslim)
Banyak kitab yang ditulis oleh para ulama yang jauh lebih baik daripada kitab Al-Ma`tsurot, seperti Hisnul Muslim, karya Asy-Syaikh Sa'id bin Wahf Al-Qahthaniy, Al-Kalimuth Thayyib, karya Ibnu Taimiyyah dengan tahqiq Asy-Syaikh Al-Albaniy, Kalimah Thayyibah, karya Ibnul Qayyim dengan tahqiq Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy, dan kitab-kitab lainnya yang telah ditahqiq oleh para ulama.
Semoga kita selalu ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Wallaahu A'lam.

(Sumber : Buletin Al-Wala' Wal Bara'
Edisi ke-24 Tahun ke-3 / 13 Mei 2005 M / 04 Rabi'uts Tsani 1426 H)

Etika Tidur dan Bangun

Berintrospeksi diri (muhasabah) sesaat sebelum tidur. Sangat dianjurkan sekali bagi setiap muslim bermuhasabah (berintrospeksi diri) sesaat sebelum tidur, mengevaluasi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya baik maka hendaknya memuji kepada Allah Subhanahu wata'ala dan jika sebaliknya maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.

Tidur dini, berdasarkan hadits yang bersumber dari `Aisyah Radhiallahu'anha "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tidur pada awal malam dan bangun pada pengujung malam, lalu beliau melakukan shalat".(Muttafaq `alaih)

Disunnatkan berwudhu' sebelum tidur, dan berbaring miring sebelah kanan. Al-Bara' bin `Azib Radhiallahu'anhu menuturkan : Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila kamu akan tidur, maka berwudlu'lah sebagaimana wudlu' untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan..." Dan tidak mengapa berbalik kesebelah kiri nantinya.

Disunnatkan pula mengibaskan sperei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seorang dari kamu akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kainnya pada tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya..." Di dalam satu riwayat dikatakan: "tiga kali". (Muttafaq `alaih).

Makruh tidur tengkurap. Abu Dzar Radhiallahu'anhu menuturkan :"Nabi Shallallahu'alaihi wasallam pernah lewat melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka Nabi Shallallahu'alaihi wasallam membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda :"Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka". (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Makruh tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadits yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda: "Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya". (HR. Al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Menutup pintu, jendela dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir ra diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda: "Padamkanlah lampu di malam hari apabila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman". (Muttafaq'alaih).

Membaca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadits-hadits shahih yang menganjurkan hal tersebut.

Membaca do`a-do`a dan dzikir yang keterangannya shahih dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, seperti : Allaahumma qinii yauma tab'atsu 'ibaadaka

"Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu". Dibaca tiga kali.(HR. Abu Dawud dan di hasankan oleh Al Albani)

Dan membaca: Bismika Allahumma Amuutu Wa ahya

" Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup." (HR. Al Bukhari)

Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdo`a dengan do`a berikut ini :

" A'uudzu bikalimaatillaahit taammati min ghadhabihi Wa syarri 'ibaadihi, wa min hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuna."

Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan syetan dan kehadiran mereka kepadaku". (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)

Hendaknya apabila bangun tidur membaca :

"Alhamdu Lillahilladzii Ahyaanaa ba'da maa Amaatanaa wa ilaihinnusyuuru"

"Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan." (HR. Al-Bukhari)

[Taken From Kitab "Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan]

Senin, 08 Oktober 2007

JANGAN TERLENA DENGAN KENIKMATAN SEMU ITU

Penulis: Ust. Abu Abdirrahman Abdullah Zaen, Lc.

Di saat Allah menghendaki terjadinya hari kiamat, Dia pun memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup terompetnya dua kali. Tiupan pertama sebagai pertanda untuk membinasakan seluruh makhluk yang ada di muka bumi dan langit, sedangkan tiupan kedua untuk membangkitkan mereka kembali.


Allah ta’ala berfirman:

“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri (menunggu (putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68)

Maka, setelah malaikat Israfil meniupkan terompetnya yang kedua kalinya, seluruh makhluk pun dibangkitkan dari kuburnya oleh Allah ta’ala, lalu mereka dikumpulkan dalam suatu padang yang amat luas yang rata dengan tanah (QS. Thaha: 107. Lihat Tafsir As-Sa’di hal. 462), dalam keadaan tidak berpakaian, tidak memakai sandal, tidak berkhitan dan tidak membawa sesuatu apapun.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pada hari kiamat nanti para manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tidak memakai sandal, tidak berpakaian dan dalam keadaan belum berkhitan. Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kaum pria dan wanita (berkumpul dalam satu tempat semuanya dalam keadaan tidak berbusana?!) apakah mereka tidak saling melihat satu sama lainnya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, ‘Wahai Aisyah kondisi saat itu amat mengerikan sehingga tidak terbetik sedikit pun dalam diri mereka untuk melihat satu sama lainnya!’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ya, saat itu masing-masing dari mereka memikirkan dirinya sendiri dan tidak sempat untuk memikirkan orang lain, meskipun itu adalah orang terdekat mereka. Allah ta’ala berfirman:

“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya. Dari bapak dan ibunya. Dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa: 34-37)

Semua manusia saat itu berada di dalam ketidakpastian, masing-masing menunggu apakah ia termasuk orang-orang yang beruntung dimasukkan ke taman-taman surga, ataukah mereka termasuk orang yang merugi dijebloskan ke dalam lembah hitam neraka.

Dalam kondisi seperti itu Allah ta’ala mendekatkan matahari sedekat-dekatnya di atas kepala para hamba-Nya, hingga panasnya sinar matahari yang luar biasa itu mengakibatkan keringat mereka bercucuran.

Al-Miqdad bin al-Aswad bercerita: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti matahari turun mendekati para makhluk hingga hanya berjarak satu mil… Pada saat itu kucuran keringat masing-masing manusia tergantung amalannya; di antara mereka ada yang keringatnya sampai di mata kakinya, ada pula yang keringatnya sampai lututnya, ada yang keringatnya sampai perutnya serta ada yang tenggelam dalam keringatnya sendiri!” (HR. Muslim)

Demikianlah para manusia saat itu berada di dalam kesusahan, kebingungan dan ketidakpastian yang tiada bandingannya, padahal satu hari pada saat itu bagaikan 50 ribu tahun hari-hari dunia! (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn Utsaimin (II/23))

Allah ta’ala berfirman:

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Allah dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij: 4)

Seandainya kita mau berpikir betapa mengerikannya hari-hari itu lantas kita merenungkan jalan hidup kebanyakan manusia di dunia yang kita lihat selama ini, niscaya kita akan sadar betul bahwa ternyata masih banyak di antara kita yang telah terlena dengan keindahan dunia yang semu ini dan lupa bahwa setelah kehidupan dunia yang sementara ini masih ada kehidupan lain yang kekal abadi yang lamanya satu hari di sana sama dengan 50 ribu tahun di dunia!

Kita telah terlena dengan gemerlapnya dunia dan lupa untuk beribadah kepada Allah dan beramal saleh, padahal pada hakikatnya kita hanya diminta untuk beramal selama 30 tahun saja! Tidak lebih dari itu. Suatu waktu yang amat singkat!

Ya, kalaupun umur kita 60 tahun, sebenarnya kita hanya diminta untuk beramal selama 30 tahun saja. Karena umur yang 60 tahun itu akan dikurangi masa tidur kita di dunia yang jika dalam satu hari adalah 8 jam, berarti masa tidur kita adalah sepertiga dari umur kita yaitu: 20 tahun Lalu kita kurangi lagi dengan masa kita sebelum balig, karena seseorang tidak berkewajiban untuk beramal melainkan setelah ia balig, taruhlah jika kita balig pada umur 10 tahun, berarti umur kita hanya tinggal 30 tahun!

Subhanallah, bayangkan, pada hakikatnya kita diperintahkan untuk bersusah payah dalam beramal saleh di dunia hanya selama 30 tahun saja! Alangkah naifnya jika kita enggan untuk bersusah payah selama 30 tahun di dunia beramal saleh, sehingga akan berakibat kita mendapat siksaan yang amat pedih di akhirat selama puluhan ribu tahun!

Allah telah memperingatkan supaya kita tidak tertipu dengan kehidupan duniawi yang fana ini dalam firman-Nya.


“Wahai para manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayai kalian, dan janganlah sekali-kali (syaitan) yang pandai menipu, memperdayakan kalian dari Allah.” (QS. Faathiir: 5)

Mengapa orang yang tertipu dengan kehidupan duniawi benar-benar telah merugi? Karena kenikmatan dunia seisinya tidak lebih berharga di sisi Allah dari sebuah sayap seekor nyamuk!

Sahl bin Sa’d bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya dunia sepadan dengan (harga) sayap seekor nyamuk; niscaya orang kafir tidak akan mendapatkan (kenikmatan dunia meskipun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi)

Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beribadah kepada Allah ta’ala, mulai dari mencari ilmu, shalat lima waktu berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada sesama terutama tetangga, mendidik keluarga sebaik-baiknya. Juga berusaha untuk menjauhi apa yang dilarang-Nya. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang disebutkan Allah ta’ala dalam firman-Nya:

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, ‘Ya Rabbi, keluarkanlah kami. niscaya kami akan mengerjakan amalan saleh berlainan dengan apa yang telah kami kerjakan.’ Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup bagi orang yang mau berpikir?! Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.” (QS: Faathir: 37)

Namun mereka tidak akan mungkin bisa kembali lagi ke dunia. Demikian pula mereka tidak akan mati di neraka. Allah ta’ala bercerita:

“Mereka berseru, ‘Wahai Malik, biarlah Rabb-Mu membunuh kami saja.’ Dia menjawab, ‘Kalian akan tetap tinggal (di neraka ini). Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, namun kebanyakan kalian benci terhadap kebenaran tersebut.’” (QS. Az-Zukhruf: 77-78)

Jangankan untuk menghentikan siksaan, untuk mendapatkan setetes air pun mereka tidak bisa. Allah ta’ala mengisahkan:

“Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga, ‘Berilah kami sedikit air atau makanan yang telah diberikan Allah kepada kalian.’ Mereka (penghuni surga) menjawab, ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.’ (Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf: 50-51)

Semoga kita semua bukan termasuk golongan tersebut di atas, amin ya Rabbal ‘alamin.

Tulisan ini terinspirasi dari salah satu nasihat yang disampaikan guru kami Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-’Abbad dalam salah satu kajian beliau dalam kitab Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah yang diadakan di masjid al-Jami’ah al-Islamiyah Madinah tiap Kamis pagi.

(Sumber: www.muslimah.or.id)

ISLAM DATANG MEMULIAKAN WANITA

Keberadaan Wanita Sebelum Islam

Panjang sudah zaman yang dilalui umat manusia yang berdiam di bumi Alloh Subhanahu wa Ta’ala ini. Sekian waktu mereka lalui dalam memakmurkan bumi karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala memang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi-Nya. Dia Yang Maha Tinggi berfirman kepada para malaikat-Nya sebagaiman diabadikan dalam Tanzil-Nya yang mulia:


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."(Al-Baqoroh:30)


Manusia pun membangun kehidupan dan peradaban mereka, generasi demi generasi, silih berganti. Namun sejarah mencatat sisi gelap perlakuan mereka terhadap makhluk Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang bernama wanita, padahal wanita merupakan bagian dari umat manusia. Kesewenang-wenangan dan penindasan mewarnai hari-hari kaum wanita dalam kegelapan alam jahiliyah, baik di kalangan bangsa Arab maupun di kalangan ajam (non arab). Perlakuan jahat dan ketidaksukaan orang-orang jahiliyah terhadap wanita ini diabadikan dalam Al-Quranul Karim.


Apabila salah seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan (kelahiran) anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita ang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (An-Nahl : 58-59).

Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup itu ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir :8-9)


Al-Hafizh Ibnu Katsir rohimahullah menyatakan bahwa anak perempuan itu dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena tidak suka dengan anak perempuan. (Tafsir Ibnu Katsir,8/260)


Apabila anak perempuan itu selamat dari tindakan tersebut dan tetap hidup maka ia hidup dalam keadaan dihinakan, ditindas dan didzlimi, tidak diberikan hak waris walaupun si wanita sangat butuh karena fakirnya. Bahkan justru ia menjadi salah satu benda warisan bagi anak laki-laki suaminya apabila suaminya meniggal dunia. Dan seorang pria dalam adat jahiliyah behak menikahi berapapun wanita yang diingikannya tanpa ada batasan dan tanpa memerhatikan hak-hak para istrinya. (Al-Mu’minat.hal11)

Ini kenyataan yang didapatkan pada bangsa arab sebelum diutusnya Rasulullah shollallhu alaihi wasallam, kenyataan buruk yang sama juga terdapat bangsa Yunani dan Romawi yang dulunya dikatakan telah memiliki ”peradaban yang tinggi”. Mereka menempatkan wanita tidak lebih dari sekedar barang murahan yang bebas untuk diperjualbelikan di pasaran.wanita di sisi mereka tidak memiliki kemerdekaan dan kedudukan, tidak pula diberi hak waris.

Di Hindustan, wanita dianggap jelek, sepadan dengan kematian, neraka, racun dan api. Bila seorang suami meninggal dan jenazahnya diperabukan maka si istri yang jelas-jelas masih hidup harus ikut dibakar bersama jenazah suaminya.

Bagi bangsa Yahudi, wanita adalah makhluk terlaknat karena sebabnyalah Nabi Adam melanggar larangan Alloh Subhanahu wa Ta’ala hingga dikeluarkan dari surga. Sebagian golongan yahudi menganggap ayah si wanita berhak memperjualbelikan putrinya.

Wanita juga dihinakan oleh para pemeluk agama Nasrani. Sekitar abad ke-5 Masehi, para pemuka agama ini berkumpul untuk membahas masalah wanita;apakah wanita itu sekedar tubuh tanpa ruh di dalamnya, ataukah memiliki ruh sebagaimana lelaki?Keputusan terakhir mereka menyatakan wanita itu tidak memiliki ruh yang selamat dari azab neraka Jahannam, kecuali Maryam Ibu ’Isa (Al-Mar’ah fil Islam, hal 10-12)


Kedudukan Wanita dalam Islam


Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia. Kezaliman terhadap wanitapun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang wanita layaknya seorang lelaki, dimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfiman :

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan...” (Al-Hujurat :13)

Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu,kemudianDia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”(An-Nisa’ : 1)

Sebagaimana wanita berserikat dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan”(An-nAhl : 97)


Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Agar Alloh mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan laki-laki maupun permpuan. Dan agar Alloh mengampuni orang-orang yang beriman, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan...”(Al-Ahzab : 73)


Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan wanita dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.


Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para wanita secara paksa.” (An-Nisa’ : 19)


Bahkan wanita dijadikan sebagai salah satu ahli waris dari harta kerabatnya yang meniggal. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Bagi para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabtnya. Dan bagi para wanita ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa’: 7)


Dalam masalah pernikahan, Alloh Subhanahu wa Ta’ala membatasi laki-aki hanya boleh mengumpulkan empat istri , dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya:


Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.”(An-Nisa’: 19)


Alloh Subhanahu wa Ta’ala menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hal wanita yang harus diberikan secara sempurna kecuali bila si wanita merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:

Dan berikanlah mahar kepada para wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.”(An-Nisa’ : 4)

Wanita pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi shollallahu alaihi wasallam kabarkan hal ini dalam sabdanya:

Wanita adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka.”(HR>Al-Bukhari dan Muslim).(Al-Mukminat hal 12-14)


Wanita di Hadapan Hukum Syariat


Syariat Islam yang diturunkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad shollallahu alaihi wasallam menetapkan bahwa wanita adalah insan yang mukallaf sebagaimana laki-laki. Wanita wajib bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Alloh Subhanahu Wa Ta’ala dan Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah utusan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Ia harus menegakkan sholat, menunaikkan zakat, puasa di bulan romadhan dan berhaji bila ada kemampuan. Ia wajib beriman kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, beriman akan datangnya hari akhir dan beriman dengan takdir Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, yang baik ataupun yang buruk semuanya ditetapkan oleh-Nya. Wajib pula bagi wanita untuk beribadah kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala seakan-akan kita melihat Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Bila tidak bisa menghadirkan yang seperti ini, maka ia harus yakin Alloh Subhanahu Wa Ta’ala selalu melihatnya dalam seluruh keadaannya, ketika sendiri ataupun bersama orang banyak.

Wanita juga harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar semampunya, melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Ia pun diperintah untuk berhias dengan akhlak mulia seperti jujur, amanah, dan adab-adab islam lainnya.

Pembebanan syariat atas wanita sebagaimana kepada laki-laki ini tidak lain bertujuan untuk memuliakan wanita dan menghantarkannya kapada derajat keimanan yang lebih tinggi. Karena, pemberian beban syariat kepada seorang hamba hakikatnya adalah pemuliaan bagi si hamba, ila ia melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Bukankah di balik bebansyariat itu ada pahala yang dijanjikan dan kenikmatan abadi yang menanti...?

Perlu diketahui, sekalipun wanita memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki namun ada beberapa kekhususan hukum yang diberikan kepada wanita. Diantaranya:

  1. Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarganya.

  2. Dalam warisan, wanita memperoleh setengah dari bagian laki-laki, sebagaimana Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

Alloh memberi wasiat kepada kalian tentang pembagian warisan bagi anak-anak kalian, yaitu anak laki-laki mendapatkan bagian yang sama dengan bagian yang diperoleh dua anak permpuan.”(An-Nisa’ : 11)

Pembagian seperti ini ditetapkan karena seorang lelaki memiliki kebutuhan untuk memberi nafkah, memikul beban, mencari rizki, dan menanggung kesulitan, sehingga pantas sekali ia menerima bagian warisan dua kali lipat dari yang diperoleh wanita. Demikian dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Katsir rohimahullah ketika menafsirkan ayat di atas.

  1. Wanita tidak boleh memimpin laki-laki, bahkan ia harus berada di bawah kepemimpinan lelaki. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, oleh karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebaian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”(An-Nisa’ : 34)

Al-Imam Al-Alusi rohimahullah berkata: ”...terdapat riwayat menerangkan bahwa para wanita kurang akal dan agamanya, sedangkan lelaki sebaliknya. Hal ini sangatlah jelas. Karena itulah para lelaki mendapat kekhususan mengemban risalah kerasulan dan kenabian menurut pendapat yang paling masyhur. Mereka mengemban amanah amamatul kubra (kepemimpinan global) dan imamatus shughra (kepemimpinan nasional), menegakkan syiar-syiar islam seperti adzan, iqamah, khutbah, sholat jumat, bertakbir pada hari-hari tasyrik-menurut pendapat guru kami yang mulia-.demikian pula memutuskan perceraian dan pernikahan menurut pendapat mahdzb Syafi’iyyah, memberikan kesaksian-kesaksian dalam perkara poko, mendapat bagian yang lebih banyak dalam pembagian harta warisan dan berbagai permasalahan lainnya.”(Ruhul Ma’ani,3/23)

Ketika seorang wanita diangkat sebagai pemimpin oleh suatu kaum, maka meerka tidak akan beruntung. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

Tidak akan beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.”(HR>Bukhari)

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda seperti ini tatkala sampai berita kepada beliau bahwa penduduk Persia menobatkan Buran, putri Kisra sebagai ratu mereka.

Al-Imam Ash-Shan’ani rohimahullah berkata:””Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehny seorang wanita pemimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan muslimin...”(Subulus Salam, 4/190)

Demikianlah, semua kekhususan yang ditentukan oleh islam terhadap wanita bertujuan untuk menjaga agama, akal, nasab/keturunan, jiwa, dan harta, di mana- menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rohimahullah- bila kelima perkara ini terjaga niscaya akan terwjud kebaikan dunia dan akhirat. (Fathul Bari,I/226)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Ditulis kembali dari majalah Asy Syariah Vol.III/No.29/1428 H/2007 hal.83-86)

LARANGAN WANITA PERGI TANPA MAHROM

Saudariku Muslimah … . Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Apa yang dikatakan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)

Yakni apa yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam perintahkan kepadamu maka kerjakanlah dan apa yang dilarangnya, jauhilah. Sesungguhnya beliau hanya memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan.

Ibnu Juraij berkata : “Apa yang datang kepadamu untuk taat kepadaku (Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) maka kerjakanlah dan apa yang datang kepadamu untuk bermaksiat kepadaku maka jauhilah.”

Pengertian ayat di atas bersifat umum yakni mencakup semua perintah dan larangan, karena beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidaklah memerintahkan kecuali membawa kebaikan dan tidaklah melarangnya kecuali mengandung kerusakan (kebinasaan). (Lihat Al Manhiyat Al ‘Asyr Li An Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said halaman 7)

Maka dalam rangka mengerjakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Nabi-Nya, kami akan berusaha menukil beberapa hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan keterangan ulama yang berkaitan dengan judul di atas.

Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan agamanya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah wanita melakukan safar selama 3 hari kecuali bersama mahramnya.” (Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106, Ahmad 3/7, dan Abu Dawud 1727)

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)

Komentar Ulama Dalam Masalah Safar Bagi Wanita

Asy Syaikh Abi Maryam menyebutkan dalam bukunya Al Manhiyat Al ‘Asyr li An Nisa’ bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang batasan safar bagi wanita tanpa mahram berbeda-beda. Ada yang menyebutkan “selama sehari semalam”, ada pula yang menyatakan “tiga hari”, dalam riwayat lain dikatakan “selama tiga malam”, sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan “selama satu barid” yakni perjalanan setengah hari.” Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena berbedanya orang yang bertanya dan berbedanya negeri tempat tinggal. Namun demikian tidak berarti bahwa larangan yang gamblang hanya selama 3 hari sedangkan yang kurang dari itu dibolehkan.

Al ‘Allamah Al Baihaqi juga mengomentari hal ini dengan ucapan beliau : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seolah-olah ditanya tentang wanita yang melakukan safar selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab tidak boleh dan beliau ditanya tentang perjalanannya (safar) selama dua hari tanpa mahram kemudian beliau menjawab tidak boleh, demikian pula halnya tentang perjalanannya sehari atau setengah hari beliau tetap menjawab tidak boleh. Kemudian setiap dari mereka mengamalkan apa yang didengarnya. Oleh karena itu hadits-hadits yang dibawakan dari satu riwayat dengan lafadh yang berbeda berarti hadits tersebut didengar di beberapa negeri, maka perawinya kadang-kadang meriwayatkan yang ini dan kadang-kadang meriwayatkan yang itu dan semuanya adalah shahih.” (Syarhul Muslim li An Nawawi 9/103)

Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwasanya bila wanita tidak mendapati suami atau mahram yang menemaninya, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Ini sesuai dengan perkataan ulama Ahlul Hadits yang sebelumnya, demikian pula perkataan Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah dan Ats Tsauri.

Imam Al Baghawi mengatakan : “Ulama sepakat bahwa dalam perkara yang bukan wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar kecuali disertai oleh suami atau mahram yang lain, terkecuali wanita kafir yang telah masuk Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil meloloskan diri dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar dari lingkup mereka dengan tanpa mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak merasa takut.” (Syarhus Sunnah 7/20)

Yang lainnya menambahkan : “Atau wanita yang tertinggal dari rombongannya/tersesat, lalu ditemukan oleh seorang laki-laki yang bukan mahram yang dapat dipercaya, maka boleh bagi laki-laki tadi menemaninya hingga ia mendapatkan rombongannya kembali.” (Syarhus Sunnah 7/21)

Mahram Bagi Wanita

Abu Maryam dalam bukunya Al Manhiyat mengatakan : “Mahram bagi wanita adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya secara mutlak (selamanya) seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, dan yang dihukumi sama dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari putri-putrinya (menantu) yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu tersebut telah melakukan jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami istri). Termasuk dalam hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (halaman 68)

Adapun laki-laki yang sewaktu-waktu menjadi halal menikah dengannya seperti budak atau saudara iparnya maka mereka ini tidak termasuk mahram karena tidak dianggap aman terhadapnya dan tidak haram baginya untuk selama-lamanya, maka mereka ini dihukumi seperti orang lain.

Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).

Kenapa Disyaratkan Dengan Mahram

Islam yang hanif ingin menjaga wanita Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.

Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan akan menghiasinya.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)

Hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas merupakan peringatan kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa disertai mahram. Islam melarang mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab-sebab yang akan mengantarkan pada perbuatan zina.

Safar Dalam Rangka Menunaikan Ibadah Haji

Jika Anda bertanya : “Apakah dibolehkan bagi wanita melakukan safar dalam rangka menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram?”

Imam At Tirmidzi rahimahullah tekah meringkas sebuah jawaban untuk pertanyaan di atas. Beliau mengatakan bahwa Ahlul ‘Ilmi (ulama) masih memperbincangkan permasalahan ini, sebagian dari mereka berkata : [ Tidak wajib baginya menunaikan ibadah haji karena mahram merupakan persyaratan perjalanan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“… bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan kepadanya … .”

Mereka mengatakan bila wanita tersebut tidak memiliki mahram berarti ia belum sanggup melakukan perjalanan kepadanya. Ini adalah ucapan Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Sedangkan sebagian Ahlul Ilmi yang lainnya mengatakan : “Bila perjalanan menuju haji dijamin aman, maka ia boleh keluar menunaikan ibadah haji bersama manusia yang lain.” Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Imam Syafi’i. ]

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi setelah membawakan secara panjang lebar dalil-dalil dari kedua pihak (yang membolehkan dan yang tidak membolehkan) mengatakan : “Setelah melihat dalil-dalil yang ada, tampak padaku bahwa dalil dari mereka yang menyatakan tidak bolehnya adalah lebih kuat karena larangan bagi wanita melakukan safar tanpa mahram adalah bersifat umum tadi, dengan demikian ia termasuk dalam larangan yang umum ini, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda : ‘Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.’ Wallahu A’lam.”

Fatwa-Fatwa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan fatwa berkaitan dengan hajinya seorang wanita tanpa mahram. Berikut ini jawaban beliau dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan :

1. Sebagian wanita pergi melaksanakan umrah tanpa mahram dan kadang-kadang bersama mereka seorang pembantu laki-laki dan pembantu wanita serta sopir. Kami mengharapkan kejelasan perkara tentang safar guna pelaksanaan umrah dan i’tikaf bagi seorang wanita yang tidak disertai mahram. Apakah boleh untuk menjadikan sebagian mereka sebagai mahram pada sebagiannya?

Beliau menjawab : [ Tidak boleh bagi wanita untuk safar tanpa mahram, baik untuk umrah maupun yang lainnya. Karena telah tsabit dalam Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :

Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak boleh seorang laki-laki ber-khalwat dengan wanita lain dan tidak boleh bagi wanita untuk safar kecuali bersama mahramnya.”

Seorang wanita haram pergi sendirian dengan pengemudinya, walaupun masih dalam batasan negerinya. Karena pengemudi itu telah ber-khalwat dengannya dan tidak ada perbedaan antara keadaannya wanita tersebut ketika berkumpul atau tidak berkumpul. Dan sungguh telah datang hadits bahwa seseorang berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku ingin keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka beliau bersabda : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (Dikeluarkan oleh Bukhari, bab Jihad, Fathul Bari 6/142-143) ]

2. Apakah boleh bagi wanita untuk safar dengan naik kapal terbang dengan keadaan aman tapi tanpa mahram?

Beliau menjawab : [ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak boleh safar bagi wanita kecuali bersama mahram.”

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan hadits tersebut ketika memberikan khutbah di atas mimbar dalam pelaksanaan ibadah haji. Maka berdirilah seseorang dan berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka jawab Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan padanya untuk meningalkan perang dan melaksanakan haji bersama istrinya dan tidaklah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata :

“Apakah istrimu dalam keadaan aman?”

Atau : “Apakah bersamanya ada wanita lain?”

Atau : “Bersama tetangganya?”

Maka ini menunjukkan keumuman larangan safar bagi wanita tanpa disertai mahram. ]

Wanita Keluar Menuju Pasar

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hafidhahullah pernah ditanya : “Bolehkah seorang wanita keluar menuju pasar tanpa disertai mahramnya dan kapankah yang demikian itu dibolehkan serta kapankah diharamkannya?”

Beliau menjawab : [ Pada dasarnya, keluarnya wanita menuju pasar adalah boleh dan tidak disyaratkan bahwa ia harus disertai mahram kecuali jika dikhawatirkan terjadi fitnah. Dalam keadaan demikian ia tidak diperkenankan keluar kecuali jika disertai mahram yang menjaga dan melindunginya. Hukum bolehnya ia keluar menuju pasar adalah diiringi dengan sebuah syarat yang harus ia penuhi yaitu tidak berhias dan tidak memakai minyak wangi (parfum) karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah melarangnya. ]

Kebolehan wanita keluar ke pasar tak luput diikat dengan syarat-syarat yang ketat, di antaranya hendaklah wanita itu keluar karena kebutuhan yang mendesak, hendaklah menggunakan hijab yang sempurna menurut syariat dan tidak ber-tabarruj, tanpa berhias dan tanpa berminyak wangi.

Wanita Berduaan Bersama Sopir Jika Bepergian, Bolehkah ?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang hukum wanita berkendaraan seorang diri hanya ditemani sopir yang membawanya ke tengah kota (belum keluar dalam batas safar). Beliau menjawab : [ Tidak boleh seorang wanita berkendaraan hanya dengan seorang sopir tanpa disertai orang lain yang bersamanya karena yang demikian ini termasuk dalam hukum ber-khalwat (berduaan), padahal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda :

“Janganlah berduaan seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali wanita tersebut disertai mahramnya.”

“Janganlah berduaan seorang pria dengan seorang wanita karena syaithan menjadi pihak ketiga dari keduanya.”

Adapun jika ada orang lain beserta keduanya baik seorang ataupun lebih, baik pria ataupun wanita, maka ini tidak mengapa baginya, bila di sana tidak ada sesuatu yang meragukan, karena keadaan khalwat (berduaan) akan hilang dengan sendirinya dengan hadirnya orang yang ketiga atau lebih. Ini dibolehkan selama belum masuk dalam batas safar. Adapun di dalam safar maka tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bila disertai mahramnya sebagaimana telah warid dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. ]

Penutup

Saudariku Muslimah …….. .

Wanita keluar rumah tanpa mahram dan tanpa ada kebutuhan yang syar’i merupakan dosa baginya. Lebih baik dan lebih suci bagi wanita untuk tetap tinggal di rumahnya agar kaum laki-laki tidak melihatnya dan wanita itupun tidak melihat padanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) di rumah-rumah kalian.”

Tidaklah ada perkara yang lebih mendekatkan diri wanita dengan Rabb-nya melebihi bila ia tetap tinggal di rumah dan berusaha menjadi wanita yang diridhai-Nya dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya dan taat kepada suaminya.

Ali radhiallahu 'anhu pernah berkata :

“Apakah kamu tidak malu … dan apakah kamu tidak tertipu … , kamu membiarkan wanita keluar di antara kaum laki-laki untuk melihat padanya dan mereka pun (kaum laki-laki) melihat pada kaum wanita tersebut.” (Lihat Al Kabair, Adz Dzahabi halaman 171-172)

Al Iffah (harga diri), rasa malu, dan kelembutan adalah sesuatu yang bernilai tinggi, nilainya tidak dapat ditakar dengan harga dunia beserta seluruh isinya dan ini merupakan kekhususan bagi wanita Muslimah yang tak dimiliki oleh wanita lain. Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melalui syariat yang agung menetapkan aturan-aturahn yang dapat mempertahankan eksistensi dari kekhususan ini dan semuanya itu diletakkan dengan hikmah yang tinggi.

Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memperlihatkan kepada kita al haq dan membimbing kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita al bathil dan membimbing kita untuk menjauhinya. Ya Allah, tuntunlah kami ke jalan-Mu yang lurus. Amin !!!

Maraji’ :

1. Al Manhiyatul ‘Asyr lin Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said.

2. Al Haribatu ilal Aswaq oleh Asy Syaikh ‘Abdul Malik Al Qasim.

3. As’ilah Muhimmah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin.

4. Jami’ Ahkamun Nisa’ oleh Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi.

5. Massuliyyah Al Mar’ah Al Muslimah oleh Asy Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah.

6. Majmu’ah Durus Fatawa (Harami Makki) oleh Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz. (Dikutip dari tulisan 'Adi Abdillah As Salafy, judul asli Larangan Wanita Pergi Tanpa Mahram, MUSLIMAH Edisi XIX/ Rabi’ul Awwal/ 1418 H/ 1997 M)www.salafy.or.id

NABI SHOLALLAHU ALAIHI WASALLAM TAK SEGAN MEMBANTU ISTRI

NABI SHOLALLAHU ALAIHI WASALLAM TAK SEGAN MEMBANTU ISTRI

Kerendahan hati tak lepas dari perangai Nabi Muhammad sholallahu alaihi wasallam.Kedudukan beliau sholallahu alaihi wasallam ysng tinggi tidak menghalangi untuk berbaur dengan istri-istrinya dalam menuntaskan pekerjaan rumah tangga secara bersama-sama.


Seorang muslim yang muwaffaq (mendapatkan taufiq) seharusnya memiliki antusiasme untuk mengetahui kesibukan nabi shollallahu alaihi wasallam, manakala beliau berada di dalam rumah bersama istri-istrinya. Agar usahanya dalam mengikuti jejak rasulullah shollallahu alaihi wassalam semakin baik. Sebagaimana semangat al-Aswad bin Yazid bin Qais,seorang dari kalangan muhadhram(orang yang beriman di masa rasulullah masih hidup, akan tetapi belum sempat berjumpa dengan beliau), yang secara khusus menanyakan perihal tersebut kepada Ummul Mukminin, Aisyah rodhiollahu anhu.


Pasalnya, ada banyak masalah yang tidak terjangkau oleh umum. Tidak ada jalan untuk mengetahuinya selain melontarkan pertanyaan langsung kepada orangorang terdekat rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Dalam hal ini, para istri rasullah shollallhu alaihi wasallam.dari al Aswad, ia berkata : Aku bertanya (kepada) Aisyah rodhiallahu anhu :”Apakah yang dikerjakan rasulullah sholallahu alaihi wasallam bersama istri-istrinya?” Dia shollallhu alaihi wasallam menjawab,”Beliau berada dalam pekerjaan istri-istrinya(yakni membantu mereka). Jika (waktu) shalat telah tiba, beliau keluar (rumah) menuju shalat ”1


Dalam riwayat lain dari Urwah, Aisyah rodhiallohu anhu menguraikan bahwa di dalam rumah rasulullah melakukan:

Sebagaimana yang diperbuat oleh salah seorang dari kalian:memperbaiki sandalnya, menambal bajunya dan menjahit.


Dalam riwayat yang berbeda: Aisyah rodhiallahu anhu berkata:

Beliau shollallahu alaihi wasallam seperti manusia kebanyakan: memeriksa bajunya dan memerah (susu)kambing.


Al-Hafizh Ibnu Hajar rodhiallohu anhu mengutip keterangan Ibnu baththal yang menyimpulkan kandungan hadits di atas (hadits pertama), dengan berkata:”Di antara budi pekerti para nabi, (yaitu)tawadhu’ dan jauh dari gaya hidup mewah, serta menyederhanakan gaya hidupnya agar diteladani (umat). Dan supaya mereka tidak hanyut dalam kehidupan mewah yang tercela.”(Lihat al Fath. 10/461).


Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengalahkan orang-orang dalam hal papan, sandang dan kendaraan, serta segala sesuatu, hendaknya mengambil ibrah dari sirah (perjalanan hidup) Nabi di atas.


Diadaptasi dari Syarh Shahihil-Adabil-Murfad. Takhrij Syaikh Muhammad Nashirudin al Albani hadits no.418,419,420, karya Husain bin ‘Audah al’Awayisyah, cetakan I/1423H. al Makbatah al Islamiyah(Majalah As-sunah edisi 02/tahunXI/1428H/2007M)

Fitnah Wanita

Fitnah Wanita


Semua perasaan condong padanya, perbuatan harampun terjadi karenanya. Mengundang terjadinya pembunuhan, permusuhan pun disebabkan karenanya. Sekurang-kurangnya ia sebagai insan yang disukai di dunia. Kerusakan mana yang lebih besar daripada ini?
Begitulah Al Imam Al Mubarokfuri -rahimahullah- menjelaskan tentang bentuk bahaya fitnah wanita dalam Al Tuhfah Al Ahwadzi 8/53.

Kaum muslimin rahimakumullah, jauh sebelumnya Allah menyatakan bahwa fitnah yang paling besar adalah wanita, bahkan ia sebagai sumber syahwat. Allah berfirman: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita?" (Q.S. Ali Imran: 14).

Rasulullah memberikan peringatan dari fitnahnya sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim dari sahabat Abu Said Al Khudri, beliau bersabda: "Hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Isroil adalah wanita"

Pada riwayat lain dalam Shahih Muslim dari sahabat Jabir, Rasulullah mengisyaratkan dengan sabdanya: "Sesungguhnya wanita menghadap dalam bentuk syaitan, dan membelakang dalam bentuk syaitan."

Kaum Muslimin rahimakumullah, demikianlah memang agama Allah datang untuk mengatur semua urusan manusia, membimbing para pemeluknya kepada yang membuat maslahat dan menjaga kepada apa yang akan menjerumuskannya kepada kemudharatan, sehingga kita mendapatkan Allah memperingatkan dari ajakan-ajakan syaitan. Allah berfirman: "Wahai bani Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaiman ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (Q.S. Al A'raaf: 27).

Para wanita menyerupai syaitan karena ia sebagai penyebab timbulnya fitnah bagi laki-laki seperti pernyataan Rasulullah di atas. Oleh karena itu hendaklah para wanita bertaqwa kepada Allah denga menjaga dirinya dan menjaga kaum lelaki dari fitnah yang ditimbulkan karenanya. Ketahuilah bahwa Islam telah datang dengan menjelaskan kedudukan para wanita. Di antara yang menunjukkan hal itu adalah:

1. Persamaan dalam hal penciptaaan dengan laki-laki. Allah berfirnan: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Q.S. Ar Ruum: 21).

2. Persamaan dalam mendapatkan pahala atas amal sholih. Allah berfirman: "Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan sebagian yang lain?" (Q.S. Ali Imron: 195). Allah juga berfirman: "Barang siapa yang mengerjakan amal sholih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik ?"(Q.S. An Nahl: 97).

3. Persamaan dalam hal hak mendapatkan warisan, sekalipun hak warisan laki-laki lebih darinya, ini hanyalah hikmah yang terkandung di dalamnya. Berkata Al Imam As Syinqithi dalam Adwa'ul Bayan 1/308 pada firman Allah: "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan?" (Q.S An Nisa: 11). Allah tidak menjelaskan dalam ayat ini hikmah dilebihkannya laki-laki atas perempuan dalam hal warisan, padahal keduanya sama dalam hal kekerabatan. Akan tetapi Allah isyaratkan yang demikian itu di tempat lain, yaitu firmanNya: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta-harta mereka? " (Q.S. An Nisa: 34).

4. Hak untuk mendapatkan perlakuan dan pergaulan yang baik. Allah berfirman: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula. Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka?" (Q.S. Al Baqoroh : 231). Allah juga berfirman: "?Dan bergaullah dengan mereka secara patut ?" (Q.S. An Nisa: 19).

Masih Banyak keterangan-keterangan tentang kedudukan wanita yang bersangkutan dengan hak-haknya dan kewajibannya. Yang ini semua menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap kaum wanita, bahkan Allah mengkhususkan khitob untuknya dalam beberapa ayat dalam Al Quran. Sesungguhnya ini adalah rahmat Allah untuk mereka, Allah menjaga mereka dengan syariatNya dan mensucikan mereka dari kotoran-kotoran jahiliyah.

Dengan demikian maka Allah dan RasulNya memerintahkan kepada kaum wanita untuk menjauhi perkara-perkara yang akan menyebabkan timbulnya fitnah bagi kaum laki-laki.
Pertama: Syariat memerintahkan wanita untuk tinggal di rumahnya. Allah berfirman: "Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian?" (Q.S. Al Ahzab: 33).
Sama sekali ini tidak berarti dholim terhadap wanita, atau penjara, ataupun mengurangi kebebasannya. Allah lebih mengetahui kemaslahatan hambaNya. Sesungguhnya dengan tinggalnya para wanita di rumah-rumahnya maka ia dapat mengurusi urusan rumahnya, menunaikan hak-hak suaminya, mendidik anaknya dan memperbanyak melakukan hal-hal baik lainnya. Adapun keluar rumah maka hukum asalnya adalah mubah, kecuali jika dalam bermaksiat kepada Allah, maka hukumnya haram.

Kedua: Syariat melarang mereka bertabaruj, yaitu berhias di hadapan selain mahramnya. Allah berfirman: "?dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu?" (QS Al Ahzab: 33).

Ketiga: Mereka dilarang berbicara dengan suara yang mendayu-dayu yang dapat mengundang fitnah. Allah berfirman: "?Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (Q.S. Al Ahzab: 32).

Keempat: Mereka dilarang keluar rumah dengan memakai wangi-wangian. Rasulullah bersabda: "Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian kemudian lewat di suatu kaum supaya mereka mendapatkan bau harumnya, maka ia telah berzina." (HR Ahmad dari Sahabat Abu Musa Al Asy'ari). Bahkan dalam riwayat Muslim dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Wanita mana saja yang memakai bukhur (sejenis wangi-wangian) tidak diperkenankan untuk sholat Isya di malam hari bersama kami." Tidak diragukan lagi bahwa sholat berjamaah memiliki keutamaan 27 derajat atas sholat sendirian. Walau demikian Rasulullah melarang para wanita untuk sholat Isya jika memakai wangi-wangian, menjaga supaya tidak terjadi fitnah.
Kelima: Mereka dilarang untuk berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya. Rasulullah bersabda: "Tidak boleh seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri, berduaan) dengan seorang wanita kecuali dengan mahramnya." (HR Muttafaq alaihi dari Sahabat Ibnu Abbas).

Maka wajib atas kaum wanita menjaga kehormatannya, dan janganlah membalas nikmat Allah dengan kekufuran, wal iyyadzubillah. Seyogyanya bagi seorang muslim atau muslimah untuk tidak memiliki pendapat atau kebebasan setelah tetap hukum Allah dan RasulNya. Karena sesungguhnya Islam tidak akan tegak pada diri seseorang kecuali dengan tunduk dan patuh. Allah berfirman: "Dan tidak patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah da RasulNya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata." (Q.S. Al Ahzab: 36). Wal ilmu indallah.


Pakaian Ketat bagi Wanita


Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin

Beliau berkata: "Terdapat dalam Shahih Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda: "Ada dua golongan dari ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya: pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor-ekor sapi yang dipakai untuk memukul manusia; kedua, wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang lenggak lenggok di kepalanya ada sanggul seperti punduk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya dan sesungguhnya bau surga itu akan didapatkan dari jarak ini dan itu."

Maka ucapan Rasulullah, telanjang adalah bahwa mereka memakai pakaian tetapi tidak menutupi yang semestinya tertutup, baik itu karena pendeknya atau tipisnya atau karena ketatnya, di antaranya adalah yang terbuka bagian dadanya, karena yang demikian itu menyelisihi perintah Allah, dimana Allah berfirman: "Dan hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya" (QS An Nur: 31)

Berkata Al Qurthubi dalam tafsirnya: "Prakteknya adalah hendaknya wanita memakai kain kerudung untuk menutup dadanya."

Di antaranya lagi adalah yang terbelah bagian bawahnya, jika tidak terdapat penutup lagi di dalamnya, jika ada penutupnya tidak mengapa hanya saja jangan sampai menyerupai yang dipakaikan oleh kaum pria.

Kepada para walinya kaum wanita hendaknya melarang mereka dari memakai pakaian yang haram dan keluar rumah dengan bertabarrruj (bersolek/berdandan) dan memakai wangi-wangian karena para walinya adalah orang yang bertanggung jawab atasnya pada hari kiamat, pada hari di mana seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, dan begitu pula tidak diterima syafaat dan tebusan darinya dan tidaklah mereka akan ditolong.
Semoga Allah memberi taufiq bagi semuanya kepada yang dicintai dan diridhainya.
(Sumber : Buletin Al-Wala’ Wal-Bara’ Edisi ke-4 Tahun ke-1 / 27 Desember 2002 M / 22 Syawwal 1423 H).